When Will We Stop Judging Each Other?
WM vs SAHM. sumber gbr: bing.com |
Sekitar dua minggu yang lalu saya reunian bareng beberapa teman lama, memang bukan teman dekat sekali, tapi kami masih keep in touch lewat sosial media selama ini, jadi saat akhirnya ketemu lagi, seru banget, maklum sudah ibu-ibu semua, yang dibicarakan tidak jauh dari body issue, si A makin langsing aja, ya?, si C kok sekarang beda, ya?, dst, dst, dan topik yang selalu menjadi favorit kami para ibu, yaitu keluarga, terutama anak-anak.
Saat obrolan tentang anak-anak tengah berlangsung, seorang teman curhat tentang sulitnya mendapat ART yang cocok sementara ia harus bekerja kantoran dan hal itu tentu saja sangat mempengaruhi konsentrasinya selama di kantor. Sesama ibu bekerja lainnya saling memberi tips mengatasi hal tersebut, sedangkan bagi teman yang kebetulan bekerja dari rumah turut bersimpati dengan masalah tersebut. Namun ditengah-tengah perbincangan itu, saya tersentak saat seorang teman, sebut saja M berujar, “duhh.., gw sih paling nggak bisa ngebiarin anak-anak gw diurus sama ART. Mau jadi apa coba anak-anak yang nggak diurus langsung sama ibunya?”
Zinggggg…..
Tiba-tiba suasana jadi hening, semua terdiam, tidak juga ingin menyalahkan teman kami yang tiba-tiba kembali keceplosan tentang pemikirannya mengenai bagaimana ibu ideal bagi dirinya dan keluarganya, tapi kami seperti kehilangan kata untuk mengomentari ucapannya tersebut.
Saya tidak ingin menceritakan tentang kelanjutan situasi di atas karena sudah bisa dibayangkan betapa akward-nya perbincangan berlangsung. Ada yang jelas-jelas menunjukan ketersinggungannya, ada yang berusaha netral, dan akhirnya kami putuskan untuk mengganti topik pembicaraan saja. Yang ingin saya ceritakan adalah kenapa saya menggunakan kata ‘kembali’ dalam kalimat “…teman kami yang tiba-tiba kembali keceplosan tentang pemikirannya mengenai bagaimana ibu ideal bagi dirinya..” Ya, saat itu memang bukan pertama kalinya ia mengutarakan pendapatnya mengenai ibu ideal versi dirinya yang bikin gerah banyak teman dan kenalan. Suatu kali di status akun sosialnya ia berkata, “lagi nganter kaka ke sekolah nih,” dan mem-posting foto tentunya. Lain kali ia memasang foto profil di blackberry messenger-nya memperlihatkan dirinya yang sedang di salon dan menulis “nikmatnya nyalon sambil nungguin si kaka sekolah.” Okay, saya suka status-statusnya, I envy her, in a positive way, of course, karena saya juga ingin seperti dirinya, punya begitu banyak waktu untuk dihabiskan bersama anak-anaknya. Hingga suatu hari, saya berhenti menyukai status-statusnya, bahkan mulai merasa terintimidasi melihat postingan foto dan status-nya yang menghujani timeline saya. Hari itu ia men-tag dirinya yang sedang berada di sebuah RS, sedang menjenguk anak temannya yang sakit. “Alhamdulillah gw bisa selalu ngejaga anak2 gw. Kasian aja sama anak2 yg sering ditinggal sama ibunya kayak gini,” tulisnya sebagai status. Darah saya rasanya mendidih. Jadi, maksud dia, anak temannya yang sakit itu adalah akibat sering ditinggal oleh si teman yang kebetulan adalah wanita kantoran?. Jadi dia pikir ibu bekerja alias working mom (WM) tidak menjaga anak-anaknya dengan baik?. Rasanya saya ingin segera berkomentar di statusnya, “trus kalo’ si kaka kemarin-kemarin masuk rumah sakit, itu karena apa, dong?, kan situ nggak pernah ninggalin anak2 untuk kerja?.” Duhh.., untung saja saya masih berpikir logis dan bisa menahan diri untuk tidak memencet tuts telepon genggam saya, kalau tidak saya pasti sudah menyesalinya karena saya tahu itu hanya emosi sesaat.
"...ada yang perlu di garisbawahi, saya tidak pernah menyesal saat saya sedang menjadi SAHM atau pun saat saya sedang menjadi WM. Saya sangat menikmati kedua kondisi itu dengan segala kelebihan dan kekurangannya..."
Okay, cukup cerita tentang si M ini. Sebagai ibu yang bekerja kantoran, meski pun tidak lagi full-time alias hanya seminggu 3x saja, saya beberapa kali merasa terintimidasi dengan penilaian ibu lainnya mengenai saya. Namun, saya juga ingat, saat saya sedang tidak bekerja dan menjadi Stay At Home Mom (SAHM), saya juga kerap kali merasa sebal dengan anggapan beberapa kenalan yang kebetulan adalah ibu bekerja, yang menganggap bahwa SAHM itu biasanya kurang apdet, kurang pede, tidak bisa banyak memutuskan soal keuangan karena tidak punya penghasilan sendiri, dll, dst. Bahkan saat sedang kumpul-kumpul, seringkali saya merasa ‘tertinggal’ mendengarkan obrolan mereka yang sepertinya jauh dari dunia saya sehari-hari. Tapi ada yang perlu di garisbawahi, saya tidak pernah menyesal saat saya sedang menjadi SAHM atau pun saat saya sedang menjadi WM. Saya sangat menikmati kedua kondisi itu dengan segala kelebihan dan kekurangannya, apalagi saat ini, saat saya bekerja kantoran namun juga tetap bisa punya waktu bersama anak-anak, rasanya saya sudah memiliki segalanya. Poin penting untuk saya adalah, saat suami dan anak-anak merestui dan mendukung apa yang saya pilih, saya akan selalu menjadi ibu dan istri yang paling bahagia.
Saat pikiran saya sedang dipenuhi oleh isu SAHM dan WM ini, kebetulan sekali saya menemukan artikel ini di internet dan saya sangat setuju dengan pendapat si penulis yang kurang lebih mengatakan, apa pun yang kita pilih, mengejar karir atau pun memilih membesarkan anak di rumah, semua terserah kita dan semua pilihan itu setara, tidak ada yang lebih tinggi atau pun lebih rendah. Sooo true..
Thread tentang ibu bekerja kantoran mau pun ibu bekerja dari rumah yang ada di theurbanmama.com juga selalu menjadi sumber inspirasi bagi saya. Membaca dan berbagi tips mengenai jadwal harian working mom, curhat mengenai dilema working mama, bahkan berbagi mengenai bagaimana cara mendapatkan penghasilan tambahan bagi SAHM, pun ada di situ. Cukup meringankan dan menceriakan hari-hari saya sebagai ibu rumah tangga sekaligus ibu bekerja. Mungkin dengan banyak membaca dan berbagi, sesama ibu, baik SAHM dan WM bisa lebih bisa saling mengerti dan mendukung :)
gbr dari sini |
Semua ibu yang melimpahkan kasih sayangnya untuk anak-anak dan keluarganya, entah SAHM atau pun WM selalu menjadi super mom di mata saya, yang selalu memberi saya inspirasi untuk menjadi ibu sebaik mereka, sebaik kalian, ... so, please, stop judging each other, we are all equal...
2 comments
Makasih buat pencerahannya Zata :)
BalasHapusKebeneran lagi blog walking & baca postingan ini.. Kemaren-kemaren rasanya cape banget kerja & pengen dirumah untuk ngurusin Raya, tapi sekarang I'm happy being WM & take care of my baby on the same time
Hai Sandraaa..
BalasHapusmakasih bgt udah mampir. Iya, yang penting berusaha enjoy aja ya, karena nggak semua ibu punya kesempatan untuk jadi WM atau pun SAHM, saling support aja deh biar dunia lebih indah :D